Selasa, 23 Oktober 2012

TELAH TERBIT NOVEL WALI SANGA



Novel Wali Sanga

©Damar Shashangka, 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved

Penyunting: Salahuddien Gz
Pemindai Aksara: Muhammad Bagus SM
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penata Letak: MT Nugroho

Cetakan I: 2012
ISBN: 978-979-16110-8-N

Harga Rp.49.800,-


DOLPHIN
Jln. Kebagusan I No. 34 Jakarta 12520
Telp.: +6221 78847301
Email: bunda_laksmi@yahoo.com
Website: www.penerbitdolphin.com



Bau kemenyan terbawa hembusan angin lalu, seolah ingin mengabarkan bahwa tanah Jawa semakin tidak bisa menerima kehadirannya. Karena bau kasturi dari tanah gersang sana sedang bersimaharajalela. Asap kemenyan, yang sudah ribuan tahun lamanya menemani dengan setia udara Jawa setiap pagi, siang, sore, dan malam, kini hanya bisa dijumpai di tempat-tempat sunyi. Asap yang menghubungkan para dewa, roh leluhur, dan makhluk halus, dengan manusia Jawa.
 





Cuplikan Novel Wali Sanga






(Halaman 154-155)
Sosok yang masih berdiri itu, yang tak lain adalah Ki Agêng Pêngging, tampak berpikir keras. Semakin keras dia berpikir, semakin kebuntuan yang didapatinya.

“Dengarkan!”

Dua orang yang bersila, yang tak lain adalah Ken Wrêgola dan Panji Tugaran, memasang telinga baik-baik.

“Laut kini telah berubah! Dulu armada Majapahit merajai laut Nusantara. Di mana saja ada tempat untuk mengembangkan layar, jung-jung Majapahit pasti ada di sana!”

Angin semilir berhembus ke ruang pendopo.

“Angin barat dan timur tak lelah bercengkerama dengan umbul-umbul merah-putih! Tak ada jung yang lebih besar daripada jung Jawa! Gelondongan kayu pilihan dari Sumbawa dan Lombok membuat kokoh jung-jung Majapahit! Ditambah bêdhil gêdhe, cet bang buatan Palembang, keperkasaan armada laut Majapahit tak tertandingi di mana-mana! Tak ada jung yang paling ditakuti melebih jung-jung berumbul-umbul merah-putih, umbul-umbul gula kelapa kita! Tetapi kini, jagat telah berubah!

“Orang-orang Atas Angin itu, yang suka mengenakan pakaian kedodoran bagai walang kadung, telah merajai lautan! Di mana-mana! Mereka ada tidak hanya ada di Nusantara! Bahkan sampai Jambhudwipa! Majapahit kini merosot jauh. Lautan, yang merupakan kunci utama kebesaran kita, telah dikuasai bangsa lain. Lihat di sana! Carbon, Dêrmayu, Pêrgota, Dêmak, Japara, Lasêm, Tuban, Pamotan, Tandhês, Ujung Galuh, semua telah mereka kuasai! Hanya Pelabuhan Kalapa, Panarukan, dan Ulupampang yang masih belum berubah!

“Yang lebih parah, telah berkembang pesat bandar besar di Hujung Mêdini sana! Bandar yang disebut Malaka! Bandar milik Kesultanan Malaka! Kesultanan yang serupa dengan Dêmak Bintara! Kesultanan yang dipenuhi ajaran orang Atas Angin. Kesultanan yang memegang kunci selat antara Swarnabhumi dan Hujung Mêdini! Kita telah terlipat! Tertekuk! Orang-orang Atas Angin ada di mana-mana, menggagahi titik-titik penting, menggenggam urat nadi Nusantara! Di mana lagikah kita bisa berkuasa selain di pedalaman?”

Ken Tugaran dan Panji Wrêgola semakin tertunduk.

“Lantas apa yang bisa kita andalkan di pedalaman? Mampu berdiri berapa lama ketika urat nadi kita terpotong sedemikian rupa?”

Kesunyian saat itu sungguh tak enak dirasa. Hati berdebar, resah, dan gundah. Ki Agêng Pêngging meliuk, duduk kembali di kursi kebesaran trah Pêngging. Kursi yang semakin lama terasa semakin dingin. 




(Halaman 250-251)

Bahkan kini, sebuah kereta kuda mendekat, menawarkan diri untuk mengantar Syekh Siti Jênar. Orang sepuh itu tidak menolaknya. Dia pun naik ke dalam kereta. Lima santrinya mengiring di samping kiri dan kanan kereta dengan berjalan kaki. Rombongan kecil tersebut sontak menjadi perhatian di pelabuhan. Ada yang belum mengenalnya, ada pula yang telah mengenalnya. Laju kereta menjadi lambat di antara beberapa orang yang mencoba mendekat, yang hendak melihat sosok Syekh Siti Jênar, yang konon adalah manusia sakti, seorang waliyullah, kekasih Allah! Di antara mereka, terdengar kelisik yang menyatakan bahwa syekh itu sejatinya bukan manusia, melainkan cacing tanah yang berubah menjadi manusia berkat sabda Susuhunan Benang.

“Ya, itu terjadi ketika syekh itu mencuri-curi dengar saat Kangjêng Benang membabarkan wejangan rahasia kepada Kangjêng Kalijaga!”

“Iya, begitulah! Dia menyelusup ke dalam segenggam tanah liat yang sedianya mau digunakan untuk menambal perahu yang bocor!”

“Berubah begitu saja setelah Kangjêng Benang menyabda cacing itu!”

“Ah, mana ada cacing berubah jadi manusia?”

“Itu sihir!”

“Perahunya bocor. Dengar! Perahunya bocor! Lalu Kangjêng Benang mencari tanah liat untuk menambalnya. Tak tahunya, di dalam tanah itu ada cacing. Cacing itulah asal-muasal orang itu!”

“Hebat!”

“Hentikan omong kosong kalian! Mulut nelayan bodoh!”

“Itu orang! Mana mungkin cacing? Ada-ada saja!”

“Waliyullah itu sakti. Kekasih Gusti Allah. Jangan sekali-kali bicara sembarangan. Kalau mereka lewat, omongan kalian akan jadi kenyataan! Kamu bisa kualat!”

“Makanya, tutup saja mulutmu!”

“Orang Jawa sekarang suka berkhayal! Cuih! Mana ada zaman dulu cerita begini?”

“Hei, kamu! Kamu orang mana? Pedalaman? Kapir?”

Beberapa anak kecil berlari dan menggamit tangan biyungnya, terbengong-bengong melihat sosok sepuh di dalam kereta kuda.

Kereta mengarah ke Giri Kêdhaton, terseok-seok pada beberapa tempat karena masih banyak orang yang ingin melihat sosok Syekh Siti Jênar dari dekat. Hingga akhirnya, sampai juga mereka di istana Giri Kêdhaton.
 
 
 
 

(Halaman 254-255)

Melihat pasukan Dêmak telah membentuk gêlar tempur, prajurit Daha bersorak-sorak. Seorang prajurit pembawa umbul-umbul memacu kudanya di depan pasukan berkuda Daha. Berkelebat-kelebat umbul-umbulnya. Setelah sampai di tepi barisan, prajurit itu memutar dan berbalik. Kini dia memacu kudanya dengan arah yang berlawanan. Sebuah pemandangan yang menantang dan meremehkan.

Tidak cukup dengan satu putaran, prajurit itu kini kembali memacu kudanya. Bukan di depan jajaran prajurit Daha, melainkan mengarah ke barisan pasukan Dêmak. Semua pasukan Dêmak mendelik. Dada mereka terasa panas.

Prajurit pembawa umbul-umbul itu sudah nyaris memasuki wilayah Dêmak. Tinggal beberapa jengkal lagi. Dan tepat di titik perbatasan, prajurit itu memutar kuda, kembali menuju barisan. Sorak-sorai membahana dari pasukan Daha. Kini, bukan hanya satu prajurit pembawa umbul-umbul yang maju. Prajurit pembawa panji-panji Surya Majapahit melakukan hal yang sama. Menyusul di belakang, sepuluh prajurit berkuda maju serentak sembari memecut-mecutkan cemetinya. Suara cemeti menggeletar, mendengingkan telinga siapa saja yang mendengar.

Prajurit pembawa cemeti memutar kuda tepat di titik perbatasan. Mereka menjalankan kuda di tempat. Kuda mereka tidak berlari, hanya menjejak-jejakkan kaki ke tanah. Mereka meludah ke arah prajurit Dêmak sembari menghina:

“Maju sini! Ayooh! Maju siniii!”

“Maju! Sini! Maju!”

Ctar, ctar, ctar! Bunyi cemeti yang dipecut-pecutkan ke udara membikin panas hati prajurit Dêmak. Senjata telah mereka genggam kuat-kuat. Tetapi perintah tidak juga datang. Sepuluh prajurit Daha yang memecut-mecutkan cemeti mereka memang belum menginjakkan kaki di wilayah Dêmak. Tetapi tingkah mereka benar-benar membuat amarah prajurit Dêmak menggelegak.

“Ayooh! Maju selangkah lagi! Ayooh!” gumam seorang prajurit Dêmak yang sudah tidak sabar.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Setelah Majapahit hancur oleh serangan Dêmak pada tahun 1478, tanah Jawa penuh dengan pergolakan. Masa itu adalah masa penyebaran Islam secara besar-besaran. Majelis Wali Sanga, selaku wadah besar para ulama, didukung pemerintahan Islam di pesisir utara, mulai merambah ranah politik. Bahkan Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama leluhur, Siwa Budha, yang masih banyak disimpan penduduk Jawa. Karena merasa ulama seharusnya hanya berperan sebagai pencerah dan pembimbing pemerintah dan masyarakat, Syekh Siti Jênar menyatakan diri keluar dari Majelis Wali Sanga. Para ulama di Jawa pun di ambang perpecahan.

Dalam pada itu, di Jawa belahan timur, kerajaan-kerajaan pecahan Majapahit mencoba terus bertahan. Salah satunya adalah Daha. Pada tahun 1486 Daha menggempur Majapahit, yang berada dalam kuasa Dêmak. Sejak itu ia menyatakan diri sebagai Majapahit baru yang lepas dari cengkeraman Dêmak. Dan Dêmak ternyata tak bisa berbuat apa-apa karena ia sibuk mengembangkan kekuatan maritimnya. Dêmak sangat berhasrat menjadi penguasa Nusantara layaknya Majapahit dahulu, yang berjaya di lautan.

Tetapi yang paling ditakuti Dêmak bukanlah Daha, melainkan justru ahli waris takhta Majapahit di Jawa belahan tengah, Ki Agêng Pêngging. Ia pun menjadi ancaman Giri Kêdhaton, kerajaan bercorak Islam di Jawa belahan timur. Ditambah perselisihan dalam Majelis Wali Sanga antara Sunan Giri dan Syekh Siti Jênar, sosok berpengaruh yang sangat dekat dengan Ki Agêng Pêngging, Dêmak merasa keberadaannya makin terjepit. Novel ini membabar konflik-konflik di tanah Jawa sepanjang tahun 1493-1494, yang sangat jarang dikisahkan


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Buku ini bisa dipesan sekarang juga. Pesan ke penulis plus tanda tangan penulis cukup Rp.45.000,- dan diskon 20% untuk pembelian 5 buku ke atas (belum termasuk ongkos kirim).
Kirim pesan pemesanan via sms, dengan menulis nama dan alamat alamat lengkap yang dituju ke 0818-102-767. 
Buku akan dikirim melalui POS/JNE.
Pembayaran melalui transfer ke rekening:

BCA KCP Gondanglegi,Malang
No.Rek : 31-70-41-76-90
a/n : Anton Maharani

Konfirmasi transfer, hubungi nomor tlp ini :

0818-102-767









Selasa, 09 Oktober 2012

NOVEL WALI SANGA SELAYANG PANDANG



NOVEL WALI SANGA
SELAYANG PANDANG


Oleh : Damar Shashangka



R
entetan konflik tak bisa dipisahkan dari perjalanan panjang sejarah anak manusia. Kepentingan dan ambisi dari satu individu maupun kelompok, tidak bisa tidak akan berbenturan dengan kepentingan dan ambisi dari individu maupun kelompok lain. Baik kepentingan dan ambisi yang bermotifkan golongan, ras, ekonomi, politik bahkan hingga agama. Dan konflik akan berdampak memilukan jika motif profan dikemas rapi dalam selubung agama. Tak lagi bisa dipisahkan mana ranah sakral dan duniawi. Karena yang profan sudah diangkat menjadi sakral. Sehingga apa-apa yang terlihat cemar, akan berubah memiliki nilai suci jika agama sudah dijadikan landasannya. Dan sekali lagi, dampaknya akan lebih mengerikan.

Kepentingan yang semula diperebutkan dan tetap disadari sebagai sebuah kepentingan duniawi yang segera disesali jika tragedi terlanjur terjadi, serta merta menjadi sebuah absurditas jika agama telah berbicara, sehingga tak ada lagi kata penyesalan karena konon yang Illahi telah memberikan legitimasinya. Disinilah sifat paradoks yang kerap dipertontonkan oleh para pemimpin agama. Disatu sisi, mereka mengajarkan kasih dan humanisme sebagai esensi ajaran mereka, namun disisi lain, mereka kerap menyetujui tindakan anarkisme yang menginjak-injak prinsip kasih dan humanisme itu sendiri.

Jawa abad XV, selepas runtuhnya Majapahit adalah medan terbuka bagi gesekan-gesekan kepentingan dan ambisi absurd seperti ini. Kalangan status quo, yang terdiri dari para bangsawan Majapahit maupun mereka yang tetap setia pada trah Majapahit, segera saja ikut-ikutan melandasi semangat nasionalisme mereka pada alasan-alasan yang juga absurd. Ketika dulu, saat Majapahit berdiri gagah penuh kejayaan dan menjadi kekuatan maritim besar di Asia Tenggara, para Raja Majapahit tidak banyak membutuhkan legitimasi illahiah demi kekuasaan mereka –walau beberapa pujangga menyanjung-nyanjung mereka bagaikan titisan Dewa-Dewa tertentu karena kebijaksanannya, toh para Raja Majapahit tidak menjadikannya sebagai sebuah legitimasi utama untuk menunjang kebesaran pribadinya.

Majapahit menjadi besar karena mereka menguasai lautan dengan Jung-Jung tercanggih di masanya. Jung-Jung yang dilengkapi peralatan tempur serupa meriam yang dinamakan Cet Bang atau Bêdhil Gêdhe.  Senjata ledak yang dikembangkan dari senjata serupa yang dibawa bangsa Tar-Tar saat menggempur Jawa pada akhir abad XIII. Ditunjang pula keahlian tempur para prajuridnya serta semangat mempersatukan Nusantara yang berkobar-kobar. Disamping pula, Majapahit menjadi besar karena kesadaran yang dicapai oleh masyarakatnya, yang menginsyafi bahwa perbedaan apapun tidaklah menjadi soal, bahkan dalam ranah agama sekalipun. Mereka mengikrarkan sebuah semboyan luar biasa : Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharmma Mangrwa. Mereka benar-benar sadar bahwa ; Walau berbeda tetap satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua. Majapahit menjadi besar, bukan hanya tertopang oleh legitimasi illahiah. Bahkan legitimasi semacam itu bukanlah hal yang utama. Pendek kata, masa-masa Majapahit adalah masa-masa masyarakat Jawa yang lebih rasional dibanding masa sesudahnya. 

Perbandingan ini bisa kita ambil saat membaca naskah Pararaton ; naskah yang penuh ditaburi kisah-kisah mitos leluhur Raja-Raja Majapahit. Pararaton sendiri, ditulis pada abad XVII, dua ratus tahunan selepas Majapahit runtuh. Masa dimana Kesultanan Mataram Islam tengah gencar-gencarnya melakukan perluasan wilayahnya di Jawa. Masa-masa yang penuh ketakhayulan. Masa-masa kebesaran Raja-Raja Mataram yang bertopangkan legitimasi illahiah bercirikan Islam Kejawen, dan dicounter dengan legitimasi serupa bercirikan Jawa-Hindhu-Buddha (Syiwa Buddha;Budo) untuk membesarkan dinasti Rajasa -dinasti Raja-Raja Majapahit- oleh penulis Pararaton.

Novel WALI SANGA merupakan novel sejarah yang menyoroti perilaku absurd dari segelintir manusia dengan mengambil setting Jawa pada akhir abad XV. Novel yang berusaha memunculkan fakta sejarah apa adanya, mengulitinya dari segala motif sakral dan menuturkan secara gamblang, bahwa manusia adalah pelaku jenius –atau malah terbingungkan- dari segala rentetan konflik berdarah yang diciptakannya sendiri. Dan yang memprihatinkan, hanya segelintir lagi yang menyadari akan keabsurdan tersebut. Dan mereka yang sadar, malah menjadi korban, menjadi target untuk dipinggirkan bahkan disingkirkan.

Dalam Novel ini pembaca disuguhi banyak tokoh, tanpa harus mengarahkan pembaca untuk terjebak dalam dualisme protagonis maupun antagonis. Pembaca bebas meletakkan keberpihakan pribadinya. Pembaca bebas menyimpulkannya sendiri. Penulis hanya sekedar menyuguhkan keping demi keping peristiwa sejarah secara runtut dengan pengkisahan yang mengajak pembaca untuk serasa ikut mengalami masa-masa Jawa akhir abad XV. Diatas itu semua, adalah bijak jika kita semua menempatkan diri secara netral dan memandang sejarah sebatas kejadian masa lampau yang perlu diambil segala hikmahnya. Peristiwa apapun yang telah terjadi dan bernilai konstruktif ; dari manapun dan oleh siapapun peristiwa itu lahir, patut diapresiasi dan ditauladani. Sebaliknya, peristiwa apapun yang telah terjadi dan bernilai destruktif ; dari manapun dan oleh siapapun peristiwa itu lahir, patut untuk dijadikan bahan ajar agar tidak lagi terulang dan diulangi.


Bhumi Singhasari, 9 Oktober 2012
Damar Shashangka





Cet Bang (Meriam China), di Keraton Kasepuhan, Cirebon.



Cet Bang (Meriam China), di Museum Bali.