Kamis, 26 Januari 2012

ASAL USUL KERATON SURAKARTA



ASAL USUL KERATON SURAKARTA

Ngarsadalêm Ingkang Sinuhun (Yang Mulia Panutan hamba) Paku Buwana II menyadari jika keraton Kartasura sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan, sebab pernah di bedhah (dimasuki oleh tentara pemberontak) Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning atau Sultan Anyakrakusuma pada 1741 Masehi. Beliau berkehendak untuk membuat keraton baru.  Sedangkan letak persisnya masih dicari,. Diharapkan bisa segera menemukan tempat yang luas dan subur serta memberikan berkah agar kedudukan sebagai Raja lestari hingga ke anak cucu kelak.

Para pembesar Negara, termasuk diantaanya para ahli nujum, ahli perhitungan dan ulama, semua diperintahkan untuk mendukung keinginan Ingkang Sinuhun Paku Buwana II. Beberapa diantara mereka terdapat nama Pangeran Wijil I (keturunan Sunan Kalijaga dari Kadilangu), Kyai Kalipah Buyud, Mas Pangulu Pêkik Ibrahim dan Kyai Tumênggung Tirtawiguna.

Setelah mendapatka perintah resmi, mereka segera berangkat untuk mencari tanah yang pantas dan tepat sebagai bakal keraton baru. Perjalanan mereka sampai di daerah Talawangi, sekarang lebih dikenal dengan nama kampung Kadipala. Disana mereka sepakat untuk menjadikan daerah itu sebagai keraton baru, akan tetapi Raden Tumênggung Tirtawiguna tidak menyetujui. Lantas Pangeran Wijil I bergerak ke timur dan menemukan daerah yang tepat yang terletak didaerah Sala (Solo).

Pangeran Wijil I dan Tumênggung Tirtawiguna segera bersemedi disana, meminta petunjuk Hyang Widdhi. Petunjuk didapatkan dan konon mereka mendapatkan wangsit sebagai berikut :

“Heh kang padha manungku puja, yen Desa Sala ini wus pinasthi bakal dadi nagara-gung, luwih dening kêrta tata lan raharjane. Ananging katêmuwa karo Kyai Sala, ing kono kang sumurup mula bukane ing nguni-nguni.”

(Wahai yang tengah khusyuk memuja, Desa Sala ini sudah ditakdirkan akan menjadi Negara besar, sangat-sangat tenteram dan makmur. Akan tetapi sebelumnya, kalian harus menemui Kyai Sala, dialah orang yang tahu asal-usul Desa ini.”)

Setelah mendapatkan wangsit, Pangeran Wijil I dan Tumênggung Tirtawiguna berangkat dari Kêdhung Kol kearah barat menuju Desa Sala. Ternyata Kyai Gêdhe Sala telah mendapat firasat bakal ditamui oleh orang-orang besar dari Keraton Kartasura, utusan dari Sang Raja Paku Buwana.

Setelah mempersilakan para tamu untuk duduk, Pangeran Wijil segera mengutarakan maksu kedatangannya. Kyai Gêdhe Sala benar-benar mendengarkan tuturan Pangeran Wijil dan Tumênggung Tirtawiguna. Lantas Kyai Gêdhe Sala berkata :

“Duh Pangeran, semoga berkenanlah mendengarkan sejarah masa lalu tanah ini. Beginilah sejarahnya seingat hamba. Dulu ketika masih jaman keraton Pajang (abad 16), putra dari Tumênggung Mayang tewas ditusuk keris atas perintah Raja (Sultan Adiwijaya/Jaka Tingkir). Sebab bersalah telah memasuki taman kaputren dan bercinta dengan putri Raja secara diam-diam. Jenazahnya dibuang ke Sungai Pepe lantas hanyut dan tersangkut di sebelah timur Desa Sala ini.

Pada saat itu, yang menjabat sebagai Bêkel disini bernama Kyai Gêdhe Sala juga, oleh karenanya bumi ini lantas diberinama Sala. Singkat cerita, Kyai Gêdhe Sala tengah menuju ke sungai. Mendapati bangkai manusia tersangkut akar pepohonan, lantas ditarik olehnya ketengah dengan maksud agar hanyut terbawa arus air yang deras. Saat itu, ketika tengah menghanyutkan tepat sore hari. Keesokan harinya, bangkai tersebut didapati masih tetap menyangkut ditempat semula. Kyai Gêdhe Sala berusaha menghanyutkan kembali, begitu hingga tiga kali berturut-turut, namun setiap kali beliau menuju sungai, bangkai itu masih nampak tersangkut dan tidak terbawa oleh air sungai. Ki Gêdhe Sala kebingungan, lantas memohon kepada Hyang Widdhi agar supaya bangkai bisa hanyut dan tidak kembali lagi. Anehnya saat Ki Gêdhe Sala tengah bersamadi, lamat-lamat terdengar suara digendang telinganya, begini : Wahai, Kyai. Janganlah berbuat tega kepadaku. Lebih baik tolonglah aku. Kuburkan aku disebelah barat Desa Sala. Ketahuilah wahai, Kyai. Ditempat mana kuburku berada kelak akan menjadi Negara besar yang tenteram dan makmur, tak bisa dimasuki oleh musuh.”

Akhirnya bangkai lantas dikuburkan sesuai petunjuk tersebut. Diberi nama Kramat Kyai Bathang. Mendengar penuturan yang sedemikian, Pangeran Wijil, Tumênggung Tirtawiguna, Kyai Kalipah Buyud dan Mas Pengulu Pêkik Ibrahim bersuka cita dalam hati, sudah tampak keberhasilan akan tugas yang tengah mereka emban. Mereka segera berziarah ke makam Kyai Bathang. Disana mereka mengamat-amati keadaan tanah dan ternyata memang cocok dengan yang dicari. Akan tetapi, didekat tempat tersebut terdapat rawa-rawa yang luas dan dalam. Rawa-rawa yang terus mengeluarkan air dan harus bisa dihentikan semburannya. Dalam kondisi senang dan bingung,  akhirnya, diputuskan mereka semua untuk kembali dulu ke keraton dan melaporkan hasil tugas yang telah mereka emban termasuk keberadaan rawa-rawa yang terus mengeluarkan air.

Di keraton Kartasura, sesudah mendapatkan pelaporan dari mereka-mereka yang diutus, Sinuhun Paku Buwana II seketika terheran-heran. Sinuhun lantas memanggil Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura I. Keduanya mendapatkan perintah untuk ikut memikirkan bagaimana caranya agar rawa-rawa bisa dihentikan semburan airnya, lantas agar bisa dibangun keraton baru yang kuat dan kokoh, subur makmur serta tenteram selama-lamanya.

Singkat cerita, Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura I segera berangkat menuju Desa Sala. Keduanya menitik kondisi rawa. Menurut penglihatan bathin mereka, ditengah rawa terdapat Tirta Kamandanu. Karena keberadaan Tirta tersebut, maka tidaklah mengherankan jika semburan air sedemikian deras dan besar.

Kedua utusan balik ke keraton dan menuturkan kepada Sinuhun Paku Buwana II :

“Sinuhun, luas dusun Sala sudah kami dapatkan secara jelas. Benar-benar tempat yang cocok untuk membangun keraton baru. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah keberadaan rawa yang terus menerus mengeluarkan air. Jika dapat dihentikan semburan air rawa tersebut, maka pembangunan keraton baru akan semakin mudah.”

Kangjêng Sinuhun lantas memanggil Tumênggung Hanggawangsa dan Kyai Patih Adipati Pringgalaya untuk membantu. Di Kepatihan mereka berkumpul dan memutuskan untuk meneruskan usaha pembangunan keraton baru di dusun Sala.

Ingkang Sinuhun Paku Buwana II pun segera mengumumkan secara resmi untuk segera membangun keraton baru di dusun Sala. Beliau memerintahkan seluruh Bupati dan Adipati mancanegara untuk segera bekerja.  Para Bupati dan Adipati segera mengirimkan kayu-kayu gelondongan utuh. Kayu-kayu tersebut dimaksudkan sebagai sarana menghentikan semburan air rawa. Akan tetapi, ketika kayu-kayu gelondongan tersebut diletakkan ditengah sumber rawa, bukannya air menjadi surut melainkan malah semakin deras.

Pangeran Wujil I dan Kyai Yasadipura I segera melakukan tirakat kembali disana. Beberapa hari melakukan laku tirakat, suatu malam terdengar suara sebagai berikut :

“Heh kang padha mangun brata. Têlêng iku mulane ora bisa pampêt amarga têmbusane marang sêgara kidul. Dene yen sira angudi pampête, saranane tambalên, GONG SĒKAR DALIMA, karo GODHONG LUMBU lan SIRAHING TĒLĒDHEK. Ing kono bisa pampêt, ananging ing têmbe dadi kêdhung ora mili ora asat, ajêg banyune ora kêna dipampêt salawas-lawase.”

(“Wahai yang tengah bertapa. Air tersebut tidak bisa dihentikan semburannya karena tembus ke laut selatan. Jika kalian berkehendak untuk menghentikan semburannya, tamballah dengan GONG SEKAR DELIMA, DAUN LUMBU dan KEPALA TĒLĒDHEK (Penari wanita). Alirannya yang deras pasti terhenti, akan tetapi lantas akan berubah menjadi danau yang airnya tidak mengalir pun juga tidak kering. Dan air yang keluar tidak akan sederas sekarang dan tak akan mungkin dihentikan untuk selama-amanya.”

Wisik tadi diterima pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon), bulan Sapar tanggal 29 tahun Jimawal 1669 (1744 Masehi). Kyai Yasadipura I lantas diharapkan oleh Pangeran Wijil I agar bersedia berdiam di sebelah selatan Kedhung Kol. Siapa saja yang berdiam ditanah tersebut, maka seluruh anak cucu hingga cicitnya akan mendapatkan kemakmuran dan kedudukan tinggi.

Kyai Hanggawijaya dan Kyai Yasadipura I yang kemudian marak ke hadapan Sinuhun Paku Buwana II untuk menyampaikan wisik yang didapatkan. Begitu mendengar peaporan kedua orang petinggi tersebut, Sinuhun Paku Buwana II lantas berkata :

“Hanggawangsa dan Yasadipura, wisik tadi menyebut-nyebut nama SIRAH TĒLĒDHEK (Kepala Penari wanita). Maknanya bukan kepala seorang manusia penari, melainkan RINGGIT (UANG ; Nama lain TĒLĒDHEK adalah RINGGIT). Sedangkan maksud dari GONG adalah GONGSA (Mulut) atau ucapan. Kyai Sêkar Dalima maksudnya Sêkaring Lathi (Bunga Mulut). Ketahuilah, karena semenjak mula yang memberitahukan sejarah tempat tersebut adalah Kyai Gêdhe Sala, maka keputusanku sesuai petunjuk wisik tersebut, maka dia harus diberikan uang yang utama (kepala; kepala dianggap sebagai sesuatu yang utama) sebanyak SALEKSA (10.000) sebagai ganti daerah yang menjadi miliknya berikut rawanya.”

(Bersambung)

Damar Shashangka, 26/01/2012